Latar Belakang Terbentuknya Masyarakat Multikultural Di Indonesia
INIRUMAHPINTAR - Indonesia dikenal dunia sebagai negeri multikultural. Lalu, apa saja hal-hal yang menjadi Latar Belakang Terbentuknya Masyarakat Multikultural di Indonesia? Melalui goresan pena ini, mari kita renungi sejumlah faktor-faktor dan unsur-unsur pembeda yang menjadi cikal-bakal hadirnya komunitas multikultural di Indonesia tersebut:
Wilayah barat, tengah, dan timur Indonesia pun kemudian dihuni oleh masyarakat-masyarakat yang beragam. Mereka hidup dan mencari penghidupan sesuai kontur wilayah yang mereka tinggali. Mereka diberinteraksi dan berkarya juga sesuai cerminan wilayah masing-masing.
Salah satu produk utama yang menopang hadirnya masyarakat multikultural yakni bahasa. Setiap wilayah mempunyai perbedaan bahasa. Bahkan, satu masyarakat serumpun sekalipun yang mendiami pulau yang sama terkadang mempunyai bahasa yang tidak sama. Sekalipun ada yang sama, perbedaan jarak dan wilayah menghasilkan perbedaan kosakata dan dialek
Komunitas yang mendiami area pepegununganan, pantai, persawahan, pasar dan sentra kota tentu mempunyai cara hidup tidak sama. Karena itulah kita temui berguakaragam profesi, ibarat petani, nelayan, pegawai, pedagang, dsb. Bahkan, adanya struktur geografis yang tidak sama (misalnya perbedaan struktur tanah), memungkinkan profesi serupa mempunyai kultur tidak sama. Dalam hal ini, sesama petani saja belum tentu akan menanam produk pertanian yang sama.
Di profesi lain ibarat nelayan misalnya, cara mereka menangkap ikan pun belum tentu sama. Pedagang juga begitu. Mereka niscaya akan menjual dagangan tidak sama dan menjual dengan gaya tidak sama. Termasuk, konsumen, para pembeli, mereka akan menawar dan membeli dengan kultur tidak sama.
Selain itu, tiruana wilayah juga mempunyai tarian perang tidak sama-beda, yang digunakannya sebagai taktik tes yang kondusif untuk melawan penjajah.
Faktor sejarah juga melatarbelakangi dampak keyakinan dan kepercayaan setiap etnis masyarakat. Aceh, yang kental dengan dampak Islam akan cenderung mempunyai kultur Islam yang kental. Begitupun Bali, yang bersahabat kaitannya dengan kultur Hindu. Masyarakat di wilayah-wilayah lain di Indonesia pun mempunyai proses ibarat itu.
Termasuk etnis Sumatra yang juga populer bahagia merantau, banyak dijumpai di pulau Jawa. Belum lagi adanya rujukan transmigrasi yang dicanangkan pemerintah semenjak dulu, menimbulkan masyarakat multi-etnis dari seluruh Indonesia saling diberinteraksi dan membentuk masyarakat yang bervariasi.
Perbedaan kontur infrastruktur, ibarat jalan raya, tentu mempengaruhi tipe-tipe transportasi. Selain itu, perbedaan pemerataan teknologi informasi, juga mempengaruhi respon masyarakat terhadap internet dan smartphone. Masyarakat Papua tentu tidak mempunyai ketergantungan yang sama dengan masyarakat Jawa untuk mengakses dunia maya, berkomunikasi via ponsel, atau mencari gosip di media massa.
Jadi, tidak mengherankan lahirnya masyarakat multikultural di Indonesia.
Masyarakat di perkotaan yang mempunyai saluran pendidikan lebih luas tentu akan mempunyai kecenderungan rujukan hidup dan kultur tidak sama. Termasuk dalam persaingan memperoleh pekerjaan.
Jadi, tidakboleh heran bila masyarakat kota cenderung lebih egois ketimbang masyarakat desa. Dan dari segi etika dan sopan-santun, masyarakat desa cenderung lebih terbuka dan bahagia diberinteraksi serta saling tolong-menolong.
Orang-orang yang dulunya beragama dengan baik, sanggup menjadi radikal spesialuntuk lantaran salah bergaul dan berguru.
Orang-orang yang beragama tapi kaku dan tidak melengkapinya dengan pengetahuan sanggup menjadi sesat dan salah dalam ber-Tuhan.
Kedangkalan beraqidah dan kebodohan yang disebabkan miskinnya ilmu agama dan fakirnya nalar sehat akan memungkinkan lahirnya manusia-manusia yang justru meninggalkan agama.
Akal tanpa agama itu buta, agama tanpa nalar itu tuli. Hidup tanpa agama akan cacat.
Apakah Pancasila sudah layak menjadi pemersatu? Jika ya, mengapa hingga detik ini, kita masih sering mendapati adanya kericuhan akhir perbedaan?
Ayo kita bangkit bangsa kita, mari bergandengan tangan meski kita tidak sama, tapi ingat! tidakboleh hingga melangkahi garis-garis toleransi, terutama dalam hal berkeyakinan.
Stop menilai agama lain dengan ukuran agama sendiri (apalagi dengan membuat status di sosial media), kecuali ingin berdiskusi dalam ranah akademik bersama para ahlinya.
Kalau ada yang salah atau berdasarkan kita salah, lampaukan tabayyun. Hilangkan fitnah dan tabrak domba.
Indonesia tidak memaksa kita untuk sama, dan menyamakan perbedaan, melainkan bagaimana hidup mendapatkan perbedaan.
Jadi, sebagai penutup, bila masih ada yang engkau dapati melaksanakan kegiatan yang melawan perbedaan, abaikan, jauhi, dan tidakboleh bati-bati (cuekin). Biar mereka terkucilkan dan menyadari bahwa Indonesia bukanlah daerah yang pantas buat mereka.
1. Latar Belakang Wilayah
Indonesia ialah negara kepulauan yang memungkinkan hadirnya banyak wilayah-wilayah dengan ciri khas masing-masing. Setiap wilayah dari waktu ke waktu tumbuh menjadi peradaban yang unik dan tidak sama satu sama lain.Wilayah barat, tengah, dan timur Indonesia pun kemudian dihuni oleh masyarakat-masyarakat yang beragam. Mereka hidup dan mencari penghidupan sesuai kontur wilayah yang mereka tinggali. Mereka diberinteraksi dan berkarya juga sesuai cerminan wilayah masing-masing.
Salah satu produk utama yang menopang hadirnya masyarakat multikultural yakni bahasa. Setiap wilayah mempunyai perbedaan bahasa. Bahkan, satu masyarakat serumpun sekalipun yang mendiami pulau yang sama terkadang mempunyai bahasa yang tidak sama. Sekalipun ada yang sama, perbedaan jarak dan wilayah menghasilkan perbedaan kosakata dan dialek
2. Perbedaan Struktur Geografis
Perbedaan wilayah juga menjadi latar belakang timbulnya perbedaan struktur geografis. Selanjutnya, perbedaan geografis hadir sebagai salah satu latar belakang terbentuknya masyarakat multikultural.Komunitas yang mendiami area pepegununganan, pantai, persawahan, pasar dan sentra kota tentu mempunyai cara hidup tidak sama. Karena itulah kita temui berguakaragam profesi, ibarat petani, nelayan, pegawai, pedagang, dsb. Bahkan, adanya struktur geografis yang tidak sama (misalnya perbedaan struktur tanah), memungkinkan profesi serupa mempunyai kultur tidak sama. Dalam hal ini, sesama petani saja belum tentu akan menanam produk pertanian yang sama.
Di profesi lain ibarat nelayan misalnya, cara mereka menangkap ikan pun belum tentu sama. Pedagang juga begitu. Mereka niscaya akan menjual dagangan tidak sama dan menjual dengan gaya tidak sama. Termasuk, konsumen, para pembeli, mereka akan menawar dan membeli dengan kultur tidak sama.
3. Faktor Sejarah
Masyarakat tumbuh dipengaruhi oleh sejarah peradabannya. Karena hampir tiruana wilayah Indonesia pernah sama-sama terjajah, maka tidak mengherankan, setiap wilayah mempunyai senjata khas masing-masing yang dulunya dipakai sebagai alat melawan penjajah.Selain itu, tiruana wilayah juga mempunyai tarian perang tidak sama-beda, yang digunakannya sebagai taktik tes yang kondusif untuk melawan penjajah.
Faktor sejarah juga melatarbelakangi dampak keyakinan dan kepercayaan setiap etnis masyarakat. Aceh, yang kental dengan dampak Islam akan cenderung mempunyai kultur Islam yang kental. Begitupun Bali, yang bersahabat kaitannya dengan kultur Hindu. Masyarakat di wilayah-wilayah lain di Indonesia pun mempunyai proses ibarat itu.
4. Faktor Sosial Budaya
Adanya kekhasan sosial budaya juga melatarbelakangi terbentuknya masyarakat multikultural di Indonesia. Budaya merantau yang banyak dipraktikkan masyarakat Bugis Makassar misalnya, menimbulkan etnis ini hampir selalu ada di bumi Indonesia. Bahkan tidak sedikit rumpun Bugis yang melanglang buana hingga ke mancguagara, ibarat Malaysia, Brunei, hingga Madagaskar.Termasuk etnis Sumatra yang juga populer bahagia merantau, banyak dijumpai di pulau Jawa. Belum lagi adanya rujukan transmigrasi yang dicanangkan pemerintah semenjak dulu, menimbulkan masyarakat multi-etnis dari seluruh Indonesia saling diberinteraksi dan membentuk masyarakat yang bervariasi.
5. Faktor Pemerataan Pembangunan
Pemerataan pembangunan juga sanggup melatarbelakangi terbentuknya masyarakat multikultural di Indonesia. Coba bandingkan Jawa dan Papua. Walaupun Papua dikenal dengan penghasil emas terbesar di dunia, toh, ternyata berbanding terbalik dengan kultur masyarakatnya yang masih sangat tertinggal dibandingkan dengan masyarakat di pulau Jawa.Perbedaan kontur infrastruktur, ibarat jalan raya, tentu mempengaruhi tipe-tipe transportasi. Selain itu, perbedaan pemerataan teknologi informasi, juga mempengaruhi respon masyarakat terhadap internet dan smartphone. Masyarakat Papua tentu tidak mempunyai ketergantungan yang sama dengan masyarakat Jawa untuk mengakses dunia maya, berkomunikasi via ponsel, atau mencari gosip di media massa.
Jadi, tidak mengherankan lahirnya masyarakat multikultural di Indonesia.
6. Faktor Pendidikan
Perbedaan kualitas pendidikan, mulai dari masukana dan pramasukana, kompetensi dan jumlah guru, pinjaman akomodasi perpustakaan dan internet juga mempengaruhi keberagaman masyarakat. Tidak terkecuali hadirnya pendidikan non-formal ibarat forum bimbingan belajar, kursus, dan petes keterampilan ikut menjadi latar belakang terbentuknya masyarakat multikultural.Masyarakat di perkotaan yang mempunyai saluran pendidikan lebih luas tentu akan mempunyai kecenderungan rujukan hidup dan kultur tidak sama. Termasuk dalam persaingan memperoleh pekerjaan.
Jadi, tidakboleh heran bila masyarakat kota cenderung lebih egois ketimbang masyarakat desa. Dan dari segi etika dan sopan-santun, masyarakat desa cenderung lebih terbuka dan bahagia diberinteraksi serta saling tolong-menolong.
7. Faktor Pemikiran
Majunya peradaban, majunya pendidikan, dan luasnya daya jangkau manusia, termasuk dalam mengenyam ilmu pengetahuan dan teknologi, menciptakannya menjadi manusia-manusia yang multikultural.Orang-orang yang dulunya beragama dengan baik, sanggup menjadi radikal spesialuntuk lantaran salah bergaul dan berguru.
Orang-orang yang beragama tapi kaku dan tidak melengkapinya dengan pengetahuan sanggup menjadi sesat dan salah dalam ber-Tuhan.
Kedangkalan beraqidah dan kebodohan yang disebabkan miskinnya ilmu agama dan fakirnya nalar sehat akan memungkinkan lahirnya manusia-manusia yang justru meninggalkan agama.
Akal tanpa agama itu buta, agama tanpa nalar itu tuli. Hidup tanpa agama akan cacat.
Kesimpulan dan Penutup
Adanya faktor-faktor yang menjadi latar belakang terbentuknya masyarakat multikultural di Indonesia di atas tentu sangat mempunyai kegunaan sebagai materi renungan dan belajar. Tantangannya adalah, bagaimana kita, masyarakat Indonesia sanggup hidup berdampingan dengan aman, damai, tenteram dengan kondisi tidak sama-beda?Apakah Pancasila sudah layak menjadi pemersatu? Jika ya, mengapa hingga detik ini, kita masih sering mendapati adanya kericuhan akhir perbedaan?
Ayo kita bangkit bangsa kita, mari bergandengan tangan meski kita tidak sama, tapi ingat! tidakboleh hingga melangkahi garis-garis toleransi, terutama dalam hal berkeyakinan.
Stop menilai agama lain dengan ukuran agama sendiri (apalagi dengan membuat status di sosial media), kecuali ingin berdiskusi dalam ranah akademik bersama para ahlinya.
Kalau ada yang salah atau berdasarkan kita salah, lampaukan tabayyun. Hilangkan fitnah dan tabrak domba.
Indonesia tidak memaksa kita untuk sama, dan menyamakan perbedaan, melainkan bagaimana hidup mendapatkan perbedaan.
Jadi, sebagai penutup, bila masih ada yang engkau dapati melaksanakan kegiatan yang melawan perbedaan, abaikan, jauhi, dan tidakboleh bati-bati (cuekin). Biar mereka terkucilkan dan menyadari bahwa Indonesia bukanlah daerah yang pantas buat mereka.
Posting Komentar untuk "Latar Belakang Terbentuknya Masyarakat Multikultural Di Indonesia"